Global Lesu, Bappenas: Pertumbuhan Ekonomi 7 Persen Sulit Dicapai


TEMPO.COJakarta - Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan Indonesia akan sulit mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen. Sebabnya, perekonomian dunia belakangan juga tengah melesu. "Kalau rata-rata tujuh persen itu berat sekali," ujar dia saat menyambangi Kantor Tempo, Jakarta Selatan, Senin, 8 April 2019.
Padahal, Indonesia saat ini tengah mengalami fase bonus demografi. Pada fase tersebut, penduduk usia produktif antara 15 tahun hingga 64 tahun dalam suatu negara berada pada jumlah yang besar. Berdasarkan Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, pemerintah menyiapkan tiga skenario pertumbuhan ekonomi Indonesia, yakni rendah, sedang, dan tinggi.
Pada skenario rendah, Indonesia ditargetkan mencapai pertumbuhan 5,4 persen per tahun. Adapun pada skema sedang atau baseline, pertumbuhan ditargetkan 5,7 persen per tahun. Pada skema optimistis, pertumbuhan diperkirakan mencapai rata-rata 6 persen per tahun.
Sebelumnya, Direktur Riset Center of Reform on Economics, Piter Abdullah, mengatakan bahwa pemerintah mesti memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih tinggi lagi. Hal ini penting agar Indonesia tidak masuk jebakan negara dengan pendapatan menengah. 
Pertumbuhan tinggi, kata Piter, juga dibutuhkan untuk memanfaatkan bonus demografi. "Hitungan Core, agar bonus demografi tidak menjadi bencana demografi, kita butuh pertumbuhan rata-rata 7 persen selama sebelas tahun ke depan," ujar Piter dalam pesan singkat kepada Tempo, Ahad, 31 Maret 2019.
Piter mengapresiasi pemerintah bisa menjaga pertumbuhan di level 5 persen. Namun, ia mengingatkan Indonesia butuh pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih besar agar di tahun 2030 tidak mengalami bencana demografi.
Adapun rancangan RPJMN 2020-2024, menurut Bambang, disusun sesuai kondisi global. "Kami melihat faktor realistisnya, faktor realistisnya di global itu sepertinya sangat sulit untuk kita membayangkan ekonomi seperti Cina yang pada saat jaya-jayanya bisa tumbuh double digit dalam waktu 20 tahun ya," katanya.
Bambang menyebut negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di antara negara G20, India, pun diperkirakan tidak bisa menyamai kondisi prima Cina. Pertumbuhan ekonomi India berada di kisaran tujuh hingga delapan persen. "Dan mungkin itu tidak akan berlangsung lama."
Pada 2018 lalu, Indonesia menempati posisi ketiga negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di antara negara G20, dengan pertumbuhan 5,17 persen. Posisi pertama masih ditempati oleh India dengan pertumbuhan 7,3 persen, diikuti oleh Cina yang tumbuh 6,6 persen.
Kendati demikian, Bambang mengatakan bukan mustahil pertumbuhan ekonomi Indonesia sesekali bisa mencapai 7 persen. "Tidak berarti kita sekitar 5 terus. Tapi kan dia bisa naik turun, bisa sekitar 6 atau 7 persen."
Share:

Sri Mulyani Klaim Arah Pembangunan Ekonomi Indonesia Sudah Benar


TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengklaim pembangunan yang saat ini dilakukan pemerintah sudah pada arah yang benar dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Sehingga, persoalan yang saat in terjadi bukanlah pada arah pembangunan, namun pada kecepatan dari pembangunan tersebut.
“Persoalannya lebih ke kualitasnya, bukan pada direction. Kalau ada yang ingin lebih cepat, pemerintah juga ingin lebih cepat,” kata Sri saat saat ditemui usai menghadiri rapat bersama Badan Anggaran DPR RI di Kompleks DPR/MPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 22 Juli 2019.
Sri  Mulyani menyebut arah pembangunan saat ini telah mengarah pada pertumbuhan ekonomi yang berkualitas karena sejumlah indikator turut membaik.Di antaranya adalah angka pengangguran, kemiskinan, hingga indeks pembangunan manusia atau Human Development Index (HDI). “Bahkan untuk unemployment (angka pengangguran), termasuk yang terendah, kemiskinan juga turun,” kata dia,
Dalam catatan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), sejumlah indikator menunjukkan beberapa perbaikan dari 2015 hingga 2019. Pertama, sepanjang tahun tersebut, tercipta 11,19 juta kesempatan kerja baru. Angka ini melampaui target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN 2015-2019 yang sebesar 10 juta kesempatan kerja.
Kedua, tingkat pengangguran terbuka ditekan menjadi 5,01 persen pada Februari 2019. Angka ini merupakan yang terendah sejak krisis moneter 1997/1998. Ketiga yaitu indeks pembangunan manusia yang mengalami kenaikan rata-rata mencapai 0,89 persen. Bappenas menyebut angka ini masuk dalam kategori tinggi.
Meski demikian, ekonomi memang belum bisa tumbuh lebih cepat karena beberapa faktor yang terjadi. Pertama yaitu kinerja ekspor yang belum bisa tumbuh maksimal karena tantangan dari sisi eksternal yang saat ini cukup besar. Di sisi lain, sektor produksi telah mencapai output gap hampir 0 persen. “Berarti kami harus meningkatkan kapasitasnya,” kata Sri Mulyani.
Share:

BI Prediksi Ekonomi 2020 Lebih Baik, Tumbuh Sampai 5,5 Persen


TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti optimistis ekonomi negara pada 2020 akan tumbuh baik. Ia memprediksi pertumbuhan ekonomi pada 2020 masih berkisar 5,1 hingga 5,5 persen.
"Kami melihat prospek ekonomi pada 2020 itu sangat baik. Kami melakukan preemptive action (tindakan pencegahan) menurunkan suku bunga untuk mengantisipasi pertumbuhan," ujarnya dalam acara Economic Outlook 2020 di Pacific Place, Jakarta, Rabu, 28 Agustus 2019.
Adapun sampai akhir 2019, ia meramalkan pertumbuhan ekonomi berkisar 5,0 persen sampai 5,4 persen. Destry mengatakan ekonomi Indonesia masih bertahan pada kisaran 5 persen di tengah perang dagang Amerika Serikat dan Cina yang menyebabkan terjadinya resesi atau pelemahan di segala sektor.
Gejolak ekonomi global akibat eskalasi sentimen dagang sebelumnya ditandai dengan aksi Amerika Serikat menaikkan bea masuk barang dari Cina sekitar 10 persen atau senilai US$ 250 miliar.
Pada fase selanjutnya, Amerika Serikat meningkatkan lagi bea masuk untuk barang Cina sekitar US$ 300 miliar dengan kisaran 10-25 persen. Kondisi ini mengakibatkan resesi atau pelemahan perdagangan dunia. Kegiatan ekspor Indonesia turut terpukul sehingga memperlebar celah transaksi berjalan atau current account deficit (CAD).
"Untuk menghadapi kondisi ini kita akan mengoptimalkan domestik ekonomi yang kita miliki. Sebab, perang dagang akan terjadi berkepanjangan," tuturnya.
Bank Indonesia, ujar Destry, juga telah mengambil kebijakan pelonggaran moneter, yakni menurunkan tingkat suku bunga, sebanyak dua kali. Tujuannya ialah memberikan ruang bagi perbankan untuk bisa menyalurkan kredit. Sebab, dengan likuiditas yang baik, perbankan dapat menekan suku bunga kredit.
Selain pertumbuhan ekonomi, Destry memaparkan prediksi inflasi yang masih akan terjaga di kisaran 3 persen plus-minus 1 sepanjang 2020. Ia juga optimistis CAD akan lebih rendah ketimbang 2019 dengan optimmalisasi konsumsi dalam negeri. "Lalu konsumen meningkat di level 7-9 persen," ujar Deputi Senior BI tersebut.
Share:

Tantangan Ekonomi Presiden Terpilih


Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic & Educational Business Institute
Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Sambil menunggu pelantikan, mereka harus segera bersiap menghadapi sejumlah tantangan ekonomi yang tidak ringan.
Dalam sistem ekonomi apa pun, kinerja ekonomi pemerintahan akan diukur dari empat indikator. Pertama, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berkutat di seputar angka 5 persen. Agar segera keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap), pertumbuhan ekonomi setidaknya harus menggapai 7 persen.
Kerja ekstra keras mutlak dilakukan lantaran komposisi produk domestik bruto sebagai dasar penghitungan pertumbuhan ekonomi masih didominasi konsumsi rumah tangga. Untuk menuju pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dalam jangka panjang, komponen investasi dan ekspor harus mengambil peran dominan.
Kedua, kualitas pertumbuhan ekonomi yang berkaitan erat dengan pemerataan distribusi pendapatan dan penciptaan kesempatan kerja. Sebaran sumber pertumbuhan secara spasial masih didominasi Jawa dan Sumatera. Sementara itu, secara sektoral, kinerja industri tetap menjadi cermin perekonomian nasional.
Kondisi ini berimbas pada indikator turunannya. Kelenturan antara pertumbuhan output nasional dan penyerapan tenaga kerja semakin rendah. Ironisnya, ketimpangan yang diukur dari indeks Gini malah semakin membaik di tengah angka pengangguran yang secara absolut mengalami peningkatan.
Ketiga, stabilisasi internal yang diukur dari tingkat inflasi relatif terkendali dalam tiga tahun terakhir. Namun unsur pembentukan inflasi masih belum merata. Komponen harga barang bergejolak dan harga yang diatur pemerintah masih menjadi pemantik inflasi utama.
Penghitungan inflasi yang melulu berbasis indeks harga konsumen (IHK) masih bias. Kombinasi dengan indeks harga produsen (IHP) dan indeks harga impor (IHI) semestinya dilakukan agar komprehensif. Dua indeks harga terakhir itu sekaligus merefleksikan stabilisasi eksternal yang diukur dari nilai mata uang asing.
Pengaruh depresiasi rupiah pada inflasi IHK beroperasi tidak langsung. Efek depresiasi nilai tukar bekerja langsung pada harga impor dan harga produsen. Studi empiris Tunc (2017) menunjukkan dampak depresiasi pada inflasi IHK paling kecil dibanding inflasi IHI dan IHP. Maka, stabilisasi nilai tukar tetap menjadi tantangan pemerintahan mendatang.
Keempat, keseimbangan sektor privat belum tercapai antara tabungan dan investasi sehingga menghendaki arus dana dari luar negeri. Arus dana asing, sayangnya, masih masif berwujud investasi portofolio, alih-alih penanaman modal yang membawa manfaat pada kesempatan kerja dan alih teknologi.
Keseimbangan sektor publik juga belum terpenuhi lantaran penerimaan pemerintah lebih kecil daripada belanja negara sehingga mengharuskan utang. Rasio pajak, yang sempat menjadi polemik panas di antara kedua kandidat pada masa kampanye, sudah dengan sendirinya membenarkan hal ini.
Sektor luar negeri pun sama saja. Neraca transaksi berjalan selalu defisit. Neraca dagang dibebani oleh tingginya impor minyak dan gas sehingga nilai surplusnya tidak kuasa menutup defisit neraca jasa. Imbasnya, perekonomian bergantung pada arus dana dari neraca modal dan neraca finansial yang mudah sekali berpindah.
Keempat hal tersebut terjalin ke suatu mata rantai yang saling berhubungan. Sebagai contoh, upaya untuk menekan impor berakibat pada ketersediaan pasokan bahan baku dan bahan penolong di dalam negeri. Akibatnya, harga output menjadi mahal sehingga kalah bersaing di pasar internasional.
Efek putaran berikutnya lebih berat. Di pasar barang, volume ekspor tertekan, kinerja produsen melorot, dan ujung-ujungnya adalah pemutusan hubungan kerja. Di sektor finansial, besaran surplus neraca dagang menurun dan ketersediaan valuta asing berkurang sehingga nilai tukar rupiah berfluktuasi, yang berimbas lagi pada kapasitas produksi.
Maka, kebijakan ekonomi pada lima tahun mendatang harus dirancang secara komprehensif agar tercipta sinergi untuk menyasar berbagai persoalan mendasar dalam struktur perekonomian nasional. Tanpa kecermatan, strategi yang dipilih malah bisa menggagalkan semua tujuan.
Dalam lingkungan global yang sedang tidak kondusif, pergeseran orientasi ekonomi ke dalam negeri patut dijadikan strategi alternatif. Sifat perekonomian terbuka tetap menjadi strategi terbaik, tapi perlu dilengkapi dengan sejumlah karakteristik agar lebih optimal. Dengan cara ini, perekonomian tidak alergi terhadap gejolak eksternal.
Penguatan pasar dalam negeri adalah kunci untuk memperbaiki kualitas pertumbuhan ekonomi. Kepiawaian presiden dan kabinet ekonominya dalam mengkombinasikan pertumbuhan, distribusi, stabilisasi, dan keseimbangan akan sangat menentukan arah perkembangan ekonomi pada masa mendatang.
Share:

Krisis Ekonomi 1997 Berpotensi Terulang, Kemenkeu: Ada Hedging


TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Kementerian Keuangan, Luky Alfirman, memastikan pemerintah tetap memantau kondisi utang korporasi yang terus membengkak. Pembengkakan utang korporasi ini sebelumnya menjadi perhatian firma konsultan global, McKinsey & Co karena bisa berpotensi menyebabkan terulangnya krisis ekonomi Asia tahun 1997.
“Kami memantau bersama Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)” kata Luky Alfirman saat ditemui selepas menghadiri acara peluncuran Savings Bond Ritel atau SBR008 di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis, 5 September 2019. Lembaga-lembaga ini juga merupakan anggota dari Komite Stabilitas Sistem Keuangan atau KSSK.
Luky mengatakan, antisipasi pemerintah saat ini berbeda dengan kondisi saat krisis ekonomi akhir dekade 20-an karena beberapa kebijakan mitigasi sudah diterbitkan. Salah satunya kebijakan transaksi lindung nilai atau hedging. “Di BI ada kewajiban hedging itu, salah satu cara agar kita (Indonesia) tidak seperti 1997, karena memang otoritas ada di mereka,” kata Luky. 
Laporan McKinsey & Co sebelumnya mencatat, ada tiga kondisi fundamental yang mengalami tekanan di negara-negara Asia. Pertama, di sektor riil, perusahaan-perusahaan di kawasan ini dalam kondisi yang sulit untuk memenuhi kewajiban utang mereka. Di Australia dan Korea Selatan, utang-utang ini telah menumpuk ke level yang cukup tinggi.
Kedua, sistem keuangan di Asia menunjukkan kerentanan, terutama di negara-negara berkembang. Mereka sangat bergantung kepada perbankan dan lembaga-lembaga shadow banking, untuk memperoleh pinjaman. Ketiga, arus modal yang terus masuk ke kawasan Asia telah menciptakan porsi yang lebih besar pada moda dari luar. “Apakah kondisi ini memicu terjadinya krisis, masih harus dilihat,” tulis laporan ini.
McKinsey kemudian menampilkan hasil pemantauan mereka terhadap neraca keuangan dari 23 ribu perusahaan di sebelas negara Asia Pasifik. Ternyata, terdapat 32 persen dari utang perusahaan di Indonesia dengan interest coverage ratio (ICR) kurang dari 1,5. ICR merupakan indikator kemampuan sebuah perusahaan untuk membayar bunga utang. Dalam kondisi ini, perusahaan pun harus menggunakan sebagian besar dari pendapatan mereka untuk membayar utang. Indonesia berada di peringkat ketiga paling rentan setelah Cina dan India.
Meski demikian kewajiban transaksi lindung nilai ini sebenarnya telah diatur melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 16 Tahun 2014 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank. Ketentuan ini pun sudah berlaku sejak 1 Januari 2015. 
Walau demikian, Bank Indonesia (BI) menyebut utang luar negeri Indonesia pada akhir triwulan II 2019 masih terkendali dengan struktur yang sehat. Jumlahnya sebesar US$ 391,8 miliar dengan proporsi US$ 195,5 miliar utang pemerintah dan US$ 196,3 miliar utang swasta, termasuk BUMN. Bahkan, utang swasta dan BUMN ini tumbuh melambat 11,4 persen year-on-year (yoy) pada periode tersebut. “Perlambatan utang swasta terutama disebabkan oleh meningkatnya pembayaran pinjaman oleh korporasi,” tulis pihak BI, pada 15 Agustus 2019.
Direktur Penelitian pada Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal mengatakan peringatan yang disampaikan oleh McKinsey & Co ini sebenarnya merupakan situasi yang sudah terjadi sejak lama. Sebab, tidak hanya utang pemerintah yang harus diperhatikan, namun juga utang swasta. Sehingga, kata Faisal, pemerintah tidak bisa lagi hanya mengandalkan indikator utang 30 persen dari Pendapatan Domestik Bruto atau PDB semata untuk menyiapkan skenario menghadapi potensi terulangnya krisis ekonomi 1997.
Share:

Kebakaran Hutan, BNPB Hitung Kerugian Ekosistem hingga Ekonomi


TEMPO.CO, Jakarta - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) masih menghitung besaran kerugian yang dialami akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di sejumlah wilayah di Sumatera dan Kalimantan. Deputi Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB Rifai mengatakan penghitungan kerugian ini akan menggunakan metode Pengkajian Kebutuhan Pasca Bencana atau Jitu Pasna.
“Jitu Pasna darurat karhutla bersifat dua asumsi,” kata Rifai saat dihubungi di Jakarta, Rabu, 18 September 2019.
Pertama yaitu asumi kerusakan ekologi atau ekosistem. Di dalamnya, termasuk kerusakan pada sumber daya fauna dan flora yang ada di wilayah yang terbakar. 
Kedua yaitu asumsi gangguan pada kesehatan di masyarakat. BNPB bakal melihat berapa banyak warga yang mengalami Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan gangguan kesehatan lainnya. Selain itu, BNP bakal menghitung kerugian pada kegiatan perekonomian masyarakat. Di dalamnya termasuk perdagangan, pariwisata, hingga perhubungan air udara dan alur yang mengalami keterlambatan atau delay.
Pada 10 September 2019, BNPB menyatakan luas lahan yang terbakar dalam kurun waktu Januari hingga Agustus 2019 mencapai 328.724 hektare. Kebakaran terbanyak terjadi di Riau dengan luas mencapai 49.466 hektare atau 14,9 persen dari luas lahan yang terbakar di Indonesia.
Akan tetapi, saat ini, BNPB masih menghitung kerugian akibat kebakaran ini. “Untuk sementara, data serta informasi kejadian dan dampaknya juga belum valid betul,” kata Rifai 
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rasio Ridho Sani, mengatakan pihaknya akan menghitung kerugian yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan. Namun, KLHK hanya akan menghitung kerugian lingkungan terkait gugatan ganti rugi, tidak kerugian secara keseluruhan. Namun, belum ada angka pasti soal kerugian tersebut saat ini. “Kami belum menghitung,” kata dia.
Share:

Kepala BKPM: Perlambatan Ekonomi Global Harus Bisa Dimanfaatkan


TEMPO.COJakarta - Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong menilai tren perlambatan ekonomi global sekarang ini bisa dimanfaatkan karena peluang bisnis masih tetap terbuka, meski berada dalam tantangan.
Dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu, 25 September 2019, Thomas menyebut sebagai lembaga promosi investasi, BKPM bertugas untuk terus meyakinkan ekosistem bisnis bahwa peluang investasi tetap terbuka terutama pada sektor teknologi dan digitalisasi.
Menurut dia, lembaga promosi di ASEAN harus terus memperkuat koordinasi dan berintegrasi untuk menanggapi berbagai tantangan globalisasi.
“Lembaga promosi investasi harus menyosialisasikan kepada para investor bahwa perlambatan ekonomi bukanlah sesuatu yang harus kita takuti, tetapi sebenarnya bisa menjadi sesuatu yang dapat kita manfaatkan atau eksploitasi. Sama seperti di kehidupan nyata, Anda tidak dapat selalu berlari dengan kecepatan tinggi. Terkadang, Anda harus melambat, Anda harus menarik napas, Anda harus pulih,” katanya.
Thomas menyampaikan hal tersebut dalam rangkaian The 16th China-ASEAN Expo (CAEXPO 2019) di Nanning, Cina, 20-24 September dengan Indonesia mendapat kehormatan menjadi country of honour untuk kedua kalinya.
Delegasi Indonesia dipimpin Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan didampingi Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan Kepala BKPM Thomas Lembong.
Thomas menjadi pembicara pada tiga forum terpisah yakni “Roundtable Meeting on Investment Cooperation”, “Indonesia Trade and Investment Forum”, dan “RMB Internationalization and ASEAN Local Currency Settlement Forum”.
Thomas menuturkan dalam lima tahun terakhir terjadi peningkatan ekosistem investasi di Indonesia yang ditandai dengan meningkatnya peringkat ease of doing  business.
“Kita dapat tetap optimis akan ada perbaikan-perbaikan iklim investasi setelah Presiden Jokowi mengumumkan susunan kabinet baru yang akan lebih berkomitmen dalam upaya tersebut,” ujarnya.
Selanjutnya, Thomas juga menyampaikan di tengah berkurangnya likuiditas dolar AS, butuh kepemimpinan dari negara anggota ASEAN untuk mulai menggunakan mata uang lain dalam transaksi perdagangan, pariwisata dan investasi.
Ekonomi dunia, menurut dia, sebaiknya mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS dan mulai menggunakan alat transaksi maupun cadangan devisa lainnya seperti euro, yen, poundsterling, dan RMB.
Rangkaian kegiatan CAEXPO 2019 itu diharapkan menjadi salah satu momentum peningkatan hubungan perdagangan, investasi dan pariwisata ke ASEAN khususnya Indonesia.
Saat ini, Cina merupakan investor terbesar ketiga bagi Indonesia dengan total investasi mencapai US$ 12,1 milliar sampai dengan semester I 2019.
Share:

Jokowi Akan Resmikan 3 Kawasan Ekonomi Khusus di Sulawesi Utara


TEMPO.COManado - Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada pagi hari ini dijadwalkan meresmikan tiga kawasan ekonomi khusus (KEK) di Bandara Samratulangi Manado, Sulawesi Utara. Peresmian kawasan ekonomi khusus itu dilakukan sebelum berangkat menuju Papua Barat.
Tiga KEK yang akan diresmikan Presiden Jokowi adalah KEK Bitung, KEK Maloy dan KEK Morotai. Adapun peresmian KEK akan dipusatkan di Bandara Sam Ratulangi, Jalan AA Maramis Lapangan Mapanget, Manado.
Rencana peresmian ini juga dikuatkan dengan adanya surat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Nomor: KEK-201/SES.M.EKON/03/2019 tanggal 28 Maret 2019 perihal undangan peresmian pengoperasian Kawasan Ekonomi Khusus Maloy Batuta Trans Kalimantan (KEK MBTK). KEK MBTK merupakan kawasan pusat agroindustri di Kabupaten Kutai Timur (Kutim) Kalimantan Timur.
Dalam surat undangan peresmian itu juga disebutkan bahwa Menko Bidang Perekonomian selaku Ketua Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus mengundang Bapak Bupati Kutai Timur selaku Wakil Ketua Dewan Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Kaltim untuk hadir dalam acara peresmian tiga KEK. "Tiga KEK (Bitung, Morotai dan MBTK) di Kota Manado, Sulawesi Utara, 1 April 2019,” kata Kabag Humas dan Protokol Pemkab Kutai Timur, Imam Sujono Lutfi.
Terkait KEK, sebelumnya Presiden Jokowi pernah mengungkapkan kekesalannya terkait lambannya progres investasi di KEK khususnya di Batam. Dalam sambutannya di Rapat Terbatas Pengembangan Batam, di Kantor Presiden, Rabu, 12 Desember 2018, Jokowi mengatakan dirinya sudah memimpin rapat terkait percepatan pembangunan di Batam berkali-kali tapi hasilnya diakui masih jauh dari target."Pada 2015 Desember kita pernah bicara ini. (Pada) Januari 2016 kita pernah bicara ini. (Pada) Maret 2017 kita pernah berbicara ini. Sudah dirapatkan berkali-kali," ucapnya.
Jokowi menjelaskan Batam dan sekitarnya memiliki posisi strategis yang bisa dikembangkan secara maksimal sehingga memiliki daya tarik yang bagus. Oleh karena itu, Batam juga diharapkan menjadi kawasan ekonomi yang mampu menarik investor. "Saya minta Menko Perekonomian untuk menyampaikan perkembangan di Batam. Proses transformasi dari free trade zone ke kawasan ekonomi khusus," ujarnya.
Share:

UU APBN 2020 Disahkan, Pertumbuhan Ekonomi Dipatok 5,3 Persen


TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat sepakat mengesahkan Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN 2020 serta Nota Keuangan dalam Sidang Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 24 September 2019.
"Apakah sepakat menjadikan RUU ini menjadi Undang-undang?" ujar Wakil Ketua DPR yang juga pimpinan sidang, Fahri Hamzah yang disambut pekikan setuju para anggota dewan.
Selepas persetujuan tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun membacakan pendapat akhir pemerintah terhadap RUU tersebut. Salah satu hal yang disampaikan Sri Mulyani adalah soal indikator ekonomi makro yang menjadi basis perhitungan APBN tahun 2020.
"Kami menilai penetapan indikator tersebut cukup realistis meskipun dinamika global yang tinggi masih akan terus menciptakan ketidakpastian bagi asumsi di atas," ujar Sri Mulyani.
Adapun indikator yang telah disepakati antara lain pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen, tingkat Inflasi sebesar 3,1 persen, nilai tukar rupiah rata-rata Rp 14.400 per dolar Amerika Serikat, serta tingkat suku bunga SPN 3 bulan sebesar 5,4 persen. Di samping itu, harga minyak mentah Indonesia rata-rata dipatok US$ 63 per barel, lifting minyak rata-rata 755 ribu barel per hari, dan lifting gas rata-rata 1.191 ribu barel setara minyak per hari.
Sri Mulyani mengatakan ketidakpastian global tersebut terus diantisipasi dan dikelola secara tepat dan terukur oleh pemerintah. Pasalnya, momentum positif kinerja perekonomian dan upaya reformasi struktural, serta reformasi fiskal dalam beberapa tahun terakhir merupakan modal utama bagi Indonesia untuk melanjutkan tren peningkatan kinerja perekonomian nasional ke depan.
"Asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5.3 persen dalam suasana kecenderungan perlemahan ekonomi global akan cukup menantang dan menghadapi risiko ke bawah," kata Sri Mulyani. Untuk itu, ia mengatakan reformasi struktural di bidang sektor riil untuk meningkatkan daya tarik investasi, meningkatkan daya saing dan produktivitas dari berbagai pelaku ekonomi untuk mendorong ekspor, menjadi sangat penting.
Share:

Daftar Presiden Sebelum Jokowi dan Uraian Singkat Kinerja Ekonomi


TEMPO.COJakarta - Calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto menyebut kesalahan sistem ekonomi nasional saat ini merupakan kesalahan bersama. Ia menyebut pemerintahan calon presiden inkumben Jokowi saat ini tak sepenuhnya bertanggung jawab, tapi juga pemerintahan sebelumnya.
Ia mengatakan saat ini pembangunan ekonomi nasional telah salah arah. Ia menegaskan Indonesia harus berani mengambil kebijakan untuk mengubah arah pembanguan ini secara menyeluruh. Prabowo menyebut seharusnya ada upaya tegas dari pemerintah untuk menghentikan aliran uang negara ke luar negeri. Hal ini juga yang kerap disebut Prabowo sebagai kebocoran.
"Saya tidak menyalahkan Bapak. Ini kesalahan besar, kesalahan besar presiden-presiden sebelum Bapak. Kita semua harus bertanggung jawab. Bener, itu pendapat saya," kata Prabowo dalam debat calon presiden dan wakil presiden, yang digelar di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Sabtu, 13 April 2019.
Berikut adalah enam presiden RI sebelum Jokowi sejak merdeka pada 1945. Tiap pemerintahan memiliki kebijakan ekonominya masing-masing.
1. Soekarno (1945 - 1965)
Menjadi presiden pertama Indonesia, Soekarno dilengserkan oleh Soeharto pada 1965. Selama masa pemerintahannya, Soekarno sempat membuat perekonomian Indonesia sebagai negara baru berkembang. Namun ekonomi Indonesia dengan cepat hancur karena hutang dan inflasi. Bahkan pada periode 1962-1965, inflasi mencapai 100 persen karena pemerintah dengan mudahnya mencetak uang untuk membayar utang dan mendanai proyek-proyek megah.
2. Soeharto (1965 - 1998)
Di era Soeharto, tim ahli ekonomi yang belajar di Berkeley, Amerika Serikat, dibentuk untuk memulai periode rehabilitasi dan pemulihan ekonomi. Era ini juga menjadi pintu masuknya investasi asing dibuka lebar setelah dibuatnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing.
Namun pada 1997 saat krisis moneter, nilai beberapa mata uang, termasuk rupiah, anjlok. Pada Januari, tercatat rupiah ada di kisaran Rp 11 ribu. Meski sempat sedikit membaik, Soeharto melepas jabatannya pada Mei 1998 setelah mendapat desakan masyarakat dan menandai awal mula era reformasi.
3. BJ Habibie (1998 - 1999)
Menjadi presiden menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri, Habibie tak banyak membuat banyak perubahan di sistem perekonomian nasional. Di tahun pertamanya tercatat pertumbuhan ekonomi anjlok menjadi minus 13,31 persen.
Namun dengan beberapa perbaikan regulasi, Habibie mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,79 persen pada 1999. Posisi Habibie tak bertahan lama, dan digantikan oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada Oktober 1999.
4. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (1999 - 2001)
Berbeda dengan Habibie, Gus Dur membuka awal pemerintahhnya dengan naiknya pertumbuhan ekonomi hingga 4,92 persen pada 2000. Namun di tahun berikutnya, pertumbuhan ekonomi menurun menjadi 3,64 persen. Gus Dur lengser dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri lewat pemilihan sidang istimewa di Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) pada 2001.
5. Megawati Soekarnoputri (2001 - 2004)
Menjabat kurang dari empat tahun, pemerintahan putri Soekarno ini kerap dinilai cukup berhasil. Tingkat inflasi rendah, nilai tukar rupiah stabil, cadangan devisa stabil, dan menurunnya suku bunga bank, dianggap menjadi indikatornya. Bahkan di akhir masa pemerintahannya, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,03 persen.
6. Susilo Bambang Yudhoyono (2004 - 2014)
SBY menjadi presiden pertama Indonesia yang terpilih lewat skema pemilihan umum secara terbuka pada 2004. SBY kembali memenangkan pemilihan pada 2009 dan menjadi presiden selama dua periode.
Menjalankan pemerintahan selama 10 tahun, SBY mencatatkan prestasi di bidang ekonomi dengan membawa Indonesia ke dalam kelompok 20 ekonomi utama atau G20. Bahkan beberapa kali pertumbuhan ekonomi Indonesia menembus di atas angka 6 persen. Beberapa kalangan menilai hal ini tak terlepas dari meningkatnya harga komoditas global.
Share:

Recent Posts