Kebakaran Hutan, BNPB Hitung Kerugian Ekosistem hingga Ekonomi


TEMPO.CO, Jakarta - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) masih menghitung besaran kerugian yang dialami akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di sejumlah wilayah di Sumatera dan Kalimantan. Deputi Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB Rifai mengatakan penghitungan kerugian ini akan menggunakan metode Pengkajian Kebutuhan Pasca Bencana atau Jitu Pasna.
“Jitu Pasna darurat karhutla bersifat dua asumsi,” kata Rifai saat dihubungi di Jakarta, Rabu, 18 September 2019.
Pertama yaitu asumi kerusakan ekologi atau ekosistem. Di dalamnya, termasuk kerusakan pada sumber daya fauna dan flora yang ada di wilayah yang terbakar. 
Kedua yaitu asumsi gangguan pada kesehatan di masyarakat. BNPB bakal melihat berapa banyak warga yang mengalami Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan gangguan kesehatan lainnya. Selain itu, BNP bakal menghitung kerugian pada kegiatan perekonomian masyarakat. Di dalamnya termasuk perdagangan, pariwisata, hingga perhubungan air udara dan alur yang mengalami keterlambatan atau delay.
Pada 10 September 2019, BNPB menyatakan luas lahan yang terbakar dalam kurun waktu Januari hingga Agustus 2019 mencapai 328.724 hektare. Kebakaran terbanyak terjadi di Riau dengan luas mencapai 49.466 hektare atau 14,9 persen dari luas lahan yang terbakar di Indonesia.
Akan tetapi, saat ini, BNPB masih menghitung kerugian akibat kebakaran ini. “Untuk sementara, data serta informasi kejadian dan dampaknya juga belum valid betul,” kata Rifai 
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rasio Ridho Sani, mengatakan pihaknya akan menghitung kerugian yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan. Namun, KLHK hanya akan menghitung kerugian lingkungan terkait gugatan ganti rugi, tidak kerugian secara keseluruhan. Namun, belum ada angka pasti soal kerugian tersebut saat ini. “Kami belum menghitung,” kata dia.
Share:

Recent Posts