Krisis Ekonomi 1997 Berpotensi Terulang, Kemenkeu: Ada Hedging


TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Kementerian Keuangan, Luky Alfirman, memastikan pemerintah tetap memantau kondisi utang korporasi yang terus membengkak. Pembengkakan utang korporasi ini sebelumnya menjadi perhatian firma konsultan global, McKinsey & Co karena bisa berpotensi menyebabkan terulangnya krisis ekonomi Asia tahun 1997.
“Kami memantau bersama Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)” kata Luky Alfirman saat ditemui selepas menghadiri acara peluncuran Savings Bond Ritel atau SBR008 di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis, 5 September 2019. Lembaga-lembaga ini juga merupakan anggota dari Komite Stabilitas Sistem Keuangan atau KSSK.
Luky mengatakan, antisipasi pemerintah saat ini berbeda dengan kondisi saat krisis ekonomi akhir dekade 20-an karena beberapa kebijakan mitigasi sudah diterbitkan. Salah satunya kebijakan transaksi lindung nilai atau hedging. “Di BI ada kewajiban hedging itu, salah satu cara agar kita (Indonesia) tidak seperti 1997, karena memang otoritas ada di mereka,” kata Luky. 
Laporan McKinsey & Co sebelumnya mencatat, ada tiga kondisi fundamental yang mengalami tekanan di negara-negara Asia. Pertama, di sektor riil, perusahaan-perusahaan di kawasan ini dalam kondisi yang sulit untuk memenuhi kewajiban utang mereka. Di Australia dan Korea Selatan, utang-utang ini telah menumpuk ke level yang cukup tinggi.
Kedua, sistem keuangan di Asia menunjukkan kerentanan, terutama di negara-negara berkembang. Mereka sangat bergantung kepada perbankan dan lembaga-lembaga shadow banking, untuk memperoleh pinjaman. Ketiga, arus modal yang terus masuk ke kawasan Asia telah menciptakan porsi yang lebih besar pada moda dari luar. “Apakah kondisi ini memicu terjadinya krisis, masih harus dilihat,” tulis laporan ini.
McKinsey kemudian menampilkan hasil pemantauan mereka terhadap neraca keuangan dari 23 ribu perusahaan di sebelas negara Asia Pasifik. Ternyata, terdapat 32 persen dari utang perusahaan di Indonesia dengan interest coverage ratio (ICR) kurang dari 1,5. ICR merupakan indikator kemampuan sebuah perusahaan untuk membayar bunga utang. Dalam kondisi ini, perusahaan pun harus menggunakan sebagian besar dari pendapatan mereka untuk membayar utang. Indonesia berada di peringkat ketiga paling rentan setelah Cina dan India.
Meski demikian kewajiban transaksi lindung nilai ini sebenarnya telah diatur melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 16 Tahun 2014 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank. Ketentuan ini pun sudah berlaku sejak 1 Januari 2015. 
Walau demikian, Bank Indonesia (BI) menyebut utang luar negeri Indonesia pada akhir triwulan II 2019 masih terkendali dengan struktur yang sehat. Jumlahnya sebesar US$ 391,8 miliar dengan proporsi US$ 195,5 miliar utang pemerintah dan US$ 196,3 miliar utang swasta, termasuk BUMN. Bahkan, utang swasta dan BUMN ini tumbuh melambat 11,4 persen year-on-year (yoy) pada periode tersebut. “Perlambatan utang swasta terutama disebabkan oleh meningkatnya pembayaran pinjaman oleh korporasi,” tulis pihak BI, pada 15 Agustus 2019.
Direktur Penelitian pada Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal mengatakan peringatan yang disampaikan oleh McKinsey & Co ini sebenarnya merupakan situasi yang sudah terjadi sejak lama. Sebab, tidak hanya utang pemerintah yang harus diperhatikan, namun juga utang swasta. Sehingga, kata Faisal, pemerintah tidak bisa lagi hanya mengandalkan indikator utang 30 persen dari Pendapatan Domestik Bruto atau PDB semata untuk menyiapkan skenario menghadapi potensi terulangnya krisis ekonomi 1997.
Share:

Recent Posts